I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jati (Tectona grandis L.f) merupakan salah satu pohon tropis
yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, karena kayunya tergolong kayu
serbaguna. Kayu jati
dapat digunakan untuk berbagai keperluan teknik maupun dekoratif. Penyebaran
alaminya terdapat di India, Myanmar dan Thailand. Di Indonesia terdapat di
Pulau Jawa, Kangean, Bali, Muna, Buton, Maluku, Sumbawa dan Lampung. Wilayah
hutan jati terluas di Indonesia terdapat di Pulau Jawa (Jawa Tengah dan Jawa
Timur) dalam wilyah kerja Perum Perhutani Unit I dan Unit II (Intari, 2000 dalam
Aggraeni dan Asmaliyah, 2008) dan hutan
rakyat.
Pengembangan jati di kecamatan Dampelas ditanam secara monokultur dalam skala luas. Hal ini mengandung resiko
timbulnya serangan hama dan penyakit, karena pada keadaan dimana hutan jati
makin banyak diusahakan hingga merupakan suatu ekologi binaan dengan budidaya
pohon hutan dengan menerapkan silvikultur intensif, serta adanya kesengajaan
menyederhanakan ekosistem alami menjadi ekosistem rekayasa, maka sangatlah
rentan terhadap organisme pengganggu seperti hama dan penyakit. Masalah hama
dan penyakit akan dijumpai mulai dari biji, biji yang baru tumbuh atau
kecambah, tanaman muda sampai menjadi tegakan, bahkan sampai pada hasil
hutannya. Oleh karena itu hama dan penyakit dalam bidang kehutananan perlu
mendapat perhatian, karena tidak akan mungkin diperoleh suatu tegakan atau
tanaman hutan yang sehat apabila masalah hama dan penyakit diabaikan (Anggraeni
dan Asmaliyah, 2008)
Untuk menghindari kerugian yang lebih besar akibat gangguan
hama dan penyakit tersebut maka harus dilakukan pengendalian. Untuk memperoleh
teknik pengendalian yang tepat (efektif dan efisien), maka perlu diketahui
terlebih dahulu jenis hama dan penyakit, gejala, akibat yang ditimbulkan,
ekobiologi, penyebaran dan penularannya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk
mengetahui jenis patogen yang menyerang tanaman jati didesa Talaga
Kecamatan Dampelas.
Jati (Tectona
grandis L.f) adalah merupakan tanaman kehutanan yang mempunyai nilai
ekonomis sangat tinggi. Karena kualitas kayunya tergolong jenis baik, sangat
kuat dan indah. Kebutuhan jati baik dalam maupun luar negeri cenderung meningkat
dari tahun ketahun. Hal ini mengakibatkan harga jual kayu jati mengalami
kenaikan 6-13% per tahun. Produksi kayu jati (Tectona grandis L.f) di Indonesia masih sangat rendah yaitu
berkisar 0,8 juta m3 per tahun sehingga masih kekurangan pasokan 1,7
juta m3 per tahun (Trubus, 2000)
Indonesia
termasuk negara dengan luas hutan mencapai jutaan hektar dan beriklim tropis,
kondisi ini sangat potensial untuk pengembangan tanaman jati (Tectona grandis
L.f) untk memasok kebutuhan jati ditingkat dunia (Simon,
1993)
Ketersediaan
kayu jati (Tectona grandis L.f) di Indonesia dari tahun ketahun cenderung mengalami penurunan. Hal ini
disebabkan karena adanya serangan hama dan penyakit, untuk itu sangat penting
diketahui agar penyebabnya dapat diketahui dengan pasti, sehingga tindakan
pencegahan dan pemberantasan dapat dilakukan dengan tepat. Dalam banyak hal,
dengan memperhatikan gejala serangan, seseorang yang berpengalaman dapat
menentukan dengan tepat. Tapi kadang-kadang beberapa jenis hama yang dapat
menyebabkan gejala yang sama pada satu pohon yang diserangnya, sehingga dengan
memperhatikan gejala saja belum cukup untuk menentukan jenis hama dan dan
penyakit serta penyebab yang pasti. Dalam hal ini, yang juga dapat diperhatikan
adalah tanda-tanda serangan hama diantaranya hama pucuk daun, penggerek batang,
rayap, semut, telur larva, kupu-kupu, kumbang dan sebagainya, dan bentuk-bentuk
lainnya seperti kotoran, cairan, sarang dan sebagainya.
Untuk
meningkatkan produktivitas dan memperbaiki kualitas kayu jati dapat dilakukan
dengan kegiatan pemeliharaan yang intensif, terutama pencegahan hama dan salah
satu penyebabnya yang dapat menurunkan kayu yang dihasilkan.
1.2 Rumusan
Masalah
Hutan jati (Tectona grandis
L.f) merupakan bentuk pertanaman yang monokultur. Dalam kondisi
ekologi seperti ini, cenderung memacu meningkatnya poulasi hama dan penyakit,
seperti halnya terjadi pada ekosistem pertanian dan perkebunan. Ekosistem
monokultur lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit karena terbatasnya
keaneka ragaman jenis tanaman dan adanya perubahan iklim mikro. Masalah ini
umumnya kurang mendapat perhatian dari perencana atau pengelola hutan dan baru
dirasakan arti pentingnya setelah terjadi kerusakan, yang biasanya sudah
terlambat ditanggulangi.
Hama daun dan
pucuk, penggerek batang, rayap, semut dan sebagainya. Untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya ledakan serangan hama disaat mendatang, diperlukan
pengenalan jenis-jenis hama penting pada tanaman jati (Tectona grandis
L.f).
1.3
Tujuan dan Kegunaan
Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis hama, gelaja
serangan, frekuensi maupun intensitas serangan hama pada tanaman jati (Tectona grandis
L.f) di areal perkebunan di Desa Talaga Kecamatan
Dampelas Kabupaten Donggala.
Dengan tercapainya tujuan diatas, diharapkan dapat memberikan informasi
awal sebagai pijakan awal dalam menentukan langkah-langkah penggunaan atau
pengendalian hama pada tanaman jati (Tectona grandis L.f)
II.
TINJAUAN PUATAKA
2.1 Keterangan Umum Tentang Hama
1. pengertian hama
Pengertian atau devenisi hama adalah
semua organisme hidup yang tergolong pada jenis serangga atau satwa yang dapat
menimbulkan kerusakan pada biji, bibit tanaman muda dan tua yang secara
ekonomis berarti atau sangat merugikan karena berada diatas ambang ekonomi
(Natawiria, 1991)
Menurut Nas (1978) bahwa serangga dikatakan hama
apabila serangga tersebut mengurangi kualitas dan kuantitas bahan makanan,
pakan ternak, tanaman serat, hasil pertanian atau panen, pengolahan dan dalam
penggunaannya serta dapat bertindak sebagai vektor penyakit pada tanaman,
binatang dan manusia, dapat merusak tanaman hias , bunga serta merusak bahan
bangunan dan milik pribadi lainnya.
Menurut Oemijati (1991), hama hutan
adalah semua binatang yang merusak pohon, tegakan hutan, bagian pohon serta
hasil hutan. Sebagian besar (80%)dari binatang yang menimbulkan kerusakan
adalah serangga. Selain itu tupai, tikus, babi hutan, bekicot berperan sebagai
hama, tetapi orang utan, rusa, gajah dan sebagainya tidak berperan sebagai
hama, tetapi berpotensi sebagai hama.
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hama
Hutan
Menurut Suratmo (1974), tinggi
rendahnya kerusakan yang ditimbulkan oleh serangga perusak hutan terutama
ditentukan oleh jumlah individu serangga (populasi serangga). Perkembangan
populasi serangga ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
2.2.1
Faktor Abiotik
1) Daya
reproduksi dan survival serangga
Daya reproduksi adalah kemampuan
berkembang biak dari setiap ekor serangga betina yang dewasa dalam periode
waktu tertentu jika didukung oleh kondisi sekeliling yang optimum.
Faktor-faktor yang menentukan daya reproduksi adalah sifat-sifat dari serangga seperti
fecundity (kesuburan), life cycle
(panjang umur serangga mulai dari telur sampai imago), sex ratio (perbandingan
antara jantan dan betina) dan polyembroni (dua serangga atau lebih yang dapat
dihasilkan dari satu telur), serta parthenogenesis (reproduksi tanpa tumbuhan).
Daya survival adalah kemampuan,
hidup dan sifat-sifat lainya dari serangga untuk dapat tetap hidup dengan
keadaan disekitarnya.
2). Kualitas
dan kuantitas makanan
Kualitas makanan adalah bagian pohon
yang jadi makanannya sesuai atau tidak yang disukai serangga, sedangkan
kuantitas makanan adalah jumlah makanan yang dikonsumsi banyak atau sedikit.
Faktor makanan yang mempengaruhi
perkembangan populasi serangga adalah: banyaknya tanaman inang yang cocok,
kerapatan tanaman inang, komposisi tegakan, umur tanaman inang, kesehatan
tanaman inang dan adanya
tanaman inang lainnya sebagai tanaman pengganti bila tanaman yang cocok atau
disukai telah habis.
3). Parasit
atau predator
Parasit adalah suatu organisme yang
hidup di dalam air atau diluar tubuh organisme lain, yang mana organisme yang
pertama mendapat kebutuhan hidupnya dari organisme kedua dan organisme kedua
dirugikan. Parasit serangga yang terpenting adalah dari jenis serangganya
sendiri, selain itu virus, bakteri, fungi, protozoa dan cacing
(Nemathelminthes)
Predator adalah suatu organisme yang
hidup bebas yang mana organisme tersebut mandapatkan makanannya dengan membunuh
mangsanya dan biasanya memadukan mangsa lebih dan seekor dalam hidupnya.
Predator serangga yang terpenting adalah dari jenis serangga sendiri, predator
lainnya seperti burung, mamalia, reptilia dan binatang ampibi.
2.2.2
Faktor fisik
Faktor-faktor fisik yang penting
dalam mempengaruhi kehidupan serangga adalah suhu, cahaya, hujan, kelembapan
udara dan angin. Faktor-faktor fisik tersebut bersama-sama membentuk cuaca
(dalam waktu pendek) atau suatu iklim (dalam jangka waktu panjang) yang dapat
menyebabkan timbulnya epidemi suatu serangga.
1)
suhu
Setiap spesies
serangga mempunyai jangkauan suhu masing-masing dimana ia dapat hidup, dan pada
umumnya jangkauan suhu yang efektif adalah suhu minimum. Serangga memiliki
kisaran suhu tertentu untuk kehidupannya. Diluar kisaran suhu tersebut serangga
dapat mengalami kematian. Efek ini terlihat pada proses fisiologis serangga,
dimana pada suhu tertentu aktivitas serangga tinggi dan akan berkurang
(menurun) pada suhu yang lain (Ross, et al., 1982; Krebs, 1985). Umumnya
kisaran suhu yang efektif adalah 15ºC (suhu minimum), 25ºC suhu optimum dan
45ºC (suhu maksimum). Pada suhu yang optimum kemampuan serangga untuk
melahirkan keturunan akan besar dan kematian (mortalitas) sebelum batas umur
akan sedikit (Natawigena, 1990).2).
2). Cahaya
Cahaya mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan, perkembangannya dan
tahan kehidupannya serangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Cahaya
mempengaruhi aktifitas serangga, cahaya membantu untuk mendapatkan makanan,
tempat yang lebih sesuai. Setiap jenis serangga membutuhkan intensitas cahaya
yang berbeda untuk aktifitasnya. Serangga diurnalyaitu serangga
yang membutuhkan intensitas cahaya tinggi aktif pada siang hari.Serangga krepskular adalah serangga yang membutuhkan intensitas
cahaya sedang aktif pada senja hari. Serangga nokturnal adalah
serangga yang membutuhkan intensitas cahaya rendah aktif pada malam hari.
3). Hujan
Curah hujan merupakan
pemicu perkembangan eksternal dan berguna untuk merangsang keluarnya kasta
reproduksi dari sarang. Serangga tidak keluar jika curah hujan rendah. Curah
hujan yang terlalu tinggi juga dapat menurunkan aktivitas serangga. Curah hujan
umumnya memberikan pengaruh fisik secara langsung pada kehidupan koloni
serangga.
4). Angin
Angin dapat berpengaruh secara langsung
terhadap kelembaban dan proses penguapan badan serangga dan juga berperan besar
dalam penyebaran suatu serangga dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Baik
memiliki ukuran sayap besar maupun yang kecil, dapat membawa beberapa ratus
meter di udara bahkan ribuan kilometer (Natawigena, 1990). Angin mempengaruhi
mobilitas serangga. Serangga kecil mobilitasnya dipengaruhi oleh angin, artinya
serangga yang demikian dapat terbawa sejauh mungkin oleh gerakan angin.
5). Kelembapan
udara
Kelembaban udara mempengaruhi kehidupan serangga langsung
atau tidak langsung. Serangga yang hidup di lingkungan yang kering mempunyai
cara tersendiri untuk mengenfisienkan penggunaan air seperti menyerap kembali
air yang terdapat pada feces yang akan dibuang dan menggunakan kembali air metabolik
tersebut, contohnya serangga rayap. Oleh karena itu kelembaban harus dilihat
sebagai keadaan lingkungan dan kelembaban sebagai bahan yang dibutuhkan
organisme untuk melangsungkan proses fisiologis dalam tubuh. Sebagai unsur
lingkungan, kelembaban sangat menonjol sebagai faktor modifikasi suhu lewat
reduksi evapotranspirasi. Selanjutnya tidak ada organisme yang dapat hidup
tanpa air karena sebagian besar jaringan tubuh dan kesempurnaan seluruh proses
vital dalam tubuh akan membutuhkan air. Serangga akan selalu mengkonsumsi air
dari lingkungannya dan sebaliknya secara terus menerus akan melepaskan air
tubuhnya melalui proses penguapan dan ekskresi. Dalam hal ini kebutuhan air
bagi serangga sangat dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya terutama kelembaban udara.
Beberapa penelitian mengenai
beberapa ketahanan serangga terhadap kekeringan menunjukkan korelasi yang
tinggi dengan keadaan lembab tempat hidupnya. Secara umum kelembaban udara
dapat mempengaruhi pembiakan, pertumbuhan, perkembangan dan keaktifan serangga
baik langsung maupun tidak langsung. Kemampuan serangga bertahan terhadap
keadaan kelembaban udara sekitarnya sangat berbeda menurut jenisnya.
Dalam hal ini kisaran toleransi terhadap kelembaban udara berubah untuk
setiap spesies maupun stadia perkembangannya, tetapi kisaran toleransi
ini tidak jelas seperti pada suhu. Bagi serangga pada umumnya kisaran
toleransi terhadap kelembaban udara yang optimum terletak didalam titik
maksimum 73-100 persen. Cuaca yang lembab merangsang pertumbuhan populasi,
sedang cuaca yang sangat kering atau keadaan yang banyak hujan menghambat
pertumbuhan tersebut. Kebanyakan air, seperti banjir dan hujan lebat merupakan
bahaya bagi kehidupan beberapa jenis serangga, termasuk juga berbagai jenis
kupu-kupu yang sedang beterbangan, serta dapat menghanyutkan larva yang baru
menetas.
2.3 Penggolongan Hama Hutan
Semua
binatang yang dapat menimbulkan kerusakan pada pohon hutan atau hasil hutan
disebut hama hutan. Dan ilmu yang mempelajarinya adalah ilmu hama hutan. Menurut Suratmo (1982) dan Husaeni (1987), hama hutan
dapat digolongkan berdasarkan bagian pohon yang diserang. Pembagian hama hutan
berdasarkan bagian pohon yang diserang adalah sebagai berikut:
a.
Serangga perusak daun (defoliating insect)
Serangan
serangga mengakibatkan sebagian atau seluruh daun rusak karena dimakan.
Serangga perusak daun termasuk ordo Lepidoptera, Hymenoptera dan Diptera, hanya
stadium larva atau nympha dan stadium imago yang merusak daun. Contoh serangga
perusak daun adalah ulat daun jati (Hyblaea
puera, Hyblaeadae, Lepidoptera), Pyrausta
machaeralis (Pyralidae, Lepidoptera),
kupu-kupu kuning (Eurema spp, pieridae,
Lepidoptera) Milionia basalis (Geometridae,
Lepidoptera).
b.
Serangga perusak pucuk dan cabang (bud and twig insects)
Kerusakan
akibat yang timbul jika pucuk dan cabang diserang adalah pucuk dan cabang dapat
berlubang-lubang dan diteres oleh serangga. Serangga yang merusak biasanya
termasuk ordo Lepidoptera, Coleoptera, Hemiptera, dan Hymenoptera. Contoh
serangga perusak pucuk dan cabang adalah Hypsipyla
robusta (Pyralidae, Lepidoptera).
c.
Serangga pengebor kulit pohon (inner bark boring insects)
Bagian yang
dirusak adalah kulit pohon bagian dalam sampai ke kambium, lubang gerakan
serangga dapat merusak atau menutup jalan pengiriman bahan makanan pohon yang
dikirim dari daun ke akar. Seangga pengebor kulit pohon biasanya termasuk ordo
Celeoptera. Contoh serangga pengebor kulit pohon adalah Xystrocera festiva (Cerambycidae,
Coleoptera).
d.
Serangga pengebor batang pohon dan kayu
(wood boring insects)
Kerusakan
berbentuk lubang-lubangyang mempunyai bermacam-macam ukuran dan bentuk.
Sebagian besar dari pengebor batang dan kayu termasuk ordo Coleoptera. Contoh
serangga pengebor batang dan kayu adalah Xyleborus
destruens (Scolytidae, Coleoptera).
e.
Serangga perusak akar
Bagian akar
yang dirusak adalah ujung akar tanaman muda yang merupakan bagian yang sangat
lunak. Serangga perusak akar biasanya termasuk ordo Coleoptera, selain itu ada
juga Lepidoptera dan Isoptera. Contoh serangga perusak akar adalah Coptotermes curviqnathus (Rhinotermitidae, Isoptera).
f.
Serangga pengisap cairan pohon (sap
sucking insect)
Kerusakan yang
ditimbulkan berbentuk noda-noda, perubahan warna (discoloration), bentuk yang
membesar (malformation) atau terhentinya pertumbuhan dari bagian-bagian
tertentu misalnya cabang. Serangga pengisap cairan pohon termasuk ordo Homoptera, Hymenoptera, Diptera, Heteroptera.
2.4
Gejala dan Tanda Serangan Hama
a.
Gejala Serangan Hama
Menurut Coulson
(1984), bentuk kerusakan daun akibat serangan serangga-serangga mempunyai ciri
sebagai berikut:
1). Free
feeding yaitu serangga memakan sebagian atau seluruh daun kecuali tulang daun
2). Hole
feeding yaitu serangga memakan bagian kecil pada semua lapisan daunsehingga
menjadi lubang-lubang pada daun.
3).
Skeletonizing yaitu serangga memakan bagian daun yang lunak saja sehingga
tinggal rangka daun.
Menurut
Kasno (1990) gejala pucuk akibat serangan serangga memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1). Pucuk yang
terluka
2). Pucuk yang
berlubanggerekan
Menurut
Kasno (1990), gejala kerusakan kulit batang dan cabang akibat serangan serangga
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1). Kerusakan kulit batang berupa
gerekan
2). Batang dan cabang berlubang
3). Batang bergembol dan berongga
b. Tanda Serangan Hama
Tanda serangan hama seperti telur, larva, imago, kotoran,
cairan dan lain sebagainya. Menurut Partosedjono (1985), bermacam-macam bentuk
telur serangga antara lain seperti :
1).
Selubung telur belalang sembah, Mantis
sinensis (Orthopreta)
2).
Telur kumbang, Criosceris sp (
Coleoptera)
3).
Sebagian kelompok telur kepik kubis, Murgantia
sp. (Hemiptera)
4).
Telur kupu-kupu kubis, Pieris rapae (Lepidoptera)
5).
Telur lalat rumah, Musca domestica (Diptera)
Menurut
Natawigena (1990), bentuk larva serangga memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1). Eruciform : bentuk tubuh silindris, kepala berkembang
biak, thorax bertungkai, pada abdomen
ada kaki semu (proleg), contohnya larva Lapcloptera dan beberapa spesies pada Hymenoptera.
2). Scarabaeiform : tubuh melengkung, kepala berkembang
biak, thorax bertungkai, abdomen tanpa proleg, contohnya larva Coleoptera
(Scarabidae)
3). Compodeiform :
tubuh memanjang pipih, thorax bertungakai, contohnya larva Coleoptera
4). Elateriform : tubuh memanjang, kecil, selindris, kulit
agak keras, tungkai pendek dan bulu pada abdomen pendek, contohnya larva pada
beberapa spesies Lepidoptera.
5). Vermiform :
tubuh seperti cacing, tak bertungkai, ada atau tanpa kepala, contohnya larva
diptera, banyak pada Hymenoptera, beberapa pada Coleoptera dan Lepidoptera.
III.
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian akan
dilaksanakan mulai bulan November
2012 - Januari 2013 di areal
tegakan jati yang berada didesa Talaga Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala
Provinsi Sulawesi Tengah
3.2 Alat dan Bahan
Alat
yang digunakan pada pnelitian ini adalah:
1.
Tegakan
jati (Tectona grandis L.f) sebagai
objek penelitian
2.
Jaring
serangga, untuk menangkap serangga dilapangan
3.
Botol
aqua, untuk tempat mengumpulkan serangga
4.
Kamera
digital, untuk memotret saat penelitian
5.
Alat
tulis menulis
6.
Tali
rafia, untuk membuat plot
7.
Parang,
untuk membuat patok plot
8.
Kantong
platik, untuk menyimpan bagian tanaman yang terserang
9.
Alkohol
70% untuk mengawetkan serangga yang ditemukan dilapangan
3.3
Prosedur Kegiatan
a.
Pembuatan Plot Penelitian
Plot untuk pengamatan dibuat dengan ukuran tertentu,
dimana setiap plot berisi 100 tanaman jati, dan diulang sebanyak 5 kali,
sehingga secara keseluruhan terdapat 500sampel yang diamati.
2. Pengambilan Data Primer
Identifikasi
gejala dilakukan dengan cara meligat perubahan fisik yang ditimbulkan oleh
tanaman, seperti adanya daun berlubang, pucuk terpotong, batang berlubang,
bercak daun, busuk daun, mati pucuk dan sebagainya. Untuk mengetahui jenis hama
yang meyerang digunakan metode identifikasi seperti yang dilakukan mardji
(1996) yaitu pengamatan langsung dilapangan untuk jenis-jenis hama yang benar
diketahui, sedangkan untuk jenis hama yang belum diketahui dikumpulkan didalam
botol berisi alkohol 70% selanjutnya dibawa ke laboratorim.
Setiap tanaman diamati dan
ditentukan nilainya (skor) berdasarkan kondisi tanaman gejala serangan seperti
yang dikemukakan oleh Eusebio et al (1979) dan Sharma et al (1984) uang
dimodifikasikan pada tabel. 1
Tabel 1. Cara
menentukan Nilai (skor) serangan hama pada setiap tanaman
Gejala pada Tanaman
|
Skor
|
Sehat (tidk ada gejala serangan atau ada serangan pada
daun tapi sangat sedikit dibandingkan dengan luas daun seluruhnya.
|
0
|
Merana ringan ( jumlah daun yang terserang dan jumlah
serangan pada masing-masing daun yang terserang sedikit atau daun rontok
sedikit
|
1
|
Merana sedang
(jumlah daun yang terserang dan jumlah serangan pada masing-masing
daun yang terserang agak banyak atau daun rontok agak banyak
|
2
|
Merana berat (jumlah daun yang terserang dan jumlah
serangan pada masing-masing daun yang terserang banyak atau daun rontok
banyak
|
3
|
Mati (seluruh daun layu atau rontok atau tidak ada
tanda-tanda kehidupan)
|
4
|
3.4 Pengambilan
Data
1. Pengambilan Data Dilapangan
Untuk mengetahui frekuensi serangan hama pada tanaman
dihitung dengan menggunakan rumus menurut James (1974), sebagai berikut:
Intensitas serangan dihitung dengan mnggunakan rumus de Guzman (1985),
Singh dan Mishra (1992) yang memodifikasi sebagai berikut:
Keterangan
: I = Intensitas
serangan
X = Jumlah
seluruh tanaman
X1- = Jumlah tanaman yang merana ringan (skor 1)
sampai yang mati (skor 4)
Y1-Y4 = Skor
untuk tanaman yang merana ringan sampai
Mati (1 sampai 4)
Setelah diperoleh
nilai intensitas serangan tersebut diatas, maka kemudian ditentukan kondisi
tanaman dilapangan, untuk mengetahui seberapa besar akibat yang ditimbulkan
oleh serangan hama atau patogen. Cara menentukan kondisi tanaman akibat
serangan hama atau dapat dilihat pada tabel 2
Tabel 2. Cara Menentukan Kondisi Tanaman Akibat Serangan
Hama atau Patogen
Intensitas serangan
|
Kondisi Tanaman
|
0-1
>1-25
>25-50
>50-75
>75-100
|
Sehat
Rusak ringan
Rusak sedang
Rusak berat
Rusak sangat berat
|
2.
Pengambilan Data di Laboratorium
Inventarisasi jenis hama yang menyebabkan kerusakan
tanaman dilakukan dengan cara membandingkan bentuk-bentuk dan karateristik
serangga dengan lieratur dan koleksi yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Aggraeni, I.,
S.E. Intari dan W. Intari. 2006. Hama dan Penyakit Hutan Tanaman. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Bogor.
Streets, R.B. 1980. Diagnosis Penyakit Tanaman (Terjemahan Imam Santoso)
The University of Arizona Press. Tuskon
– Arizona. USA.
Dwidjoseputro. D. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni Bandung.
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5 th eds. Elsevier akademic press. USA.
Alexopoulus, C.J. and C.W.
Mims.1979. Introductory Mycology.
John Wiley & Sons
Bernett, H.L. 1965. Illustrated Genera of Fungi. Burges
Publishing Company. Minneapolis – USA.
Mahfudz dkk. 2004. Sekilas Jati.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan,
Yogyakarta.
Nath, R.; P Neergard and S. B.
Mathur. 1970. Identification of Fusarium
Species on Seeds as They Occur in Blotter Tes. Proc. Int. Seed. Test Ass.
35 (1).
Smith, A.L. 1953. Fusarium and Nematode on Cotton in Plant
Diseases. The Year Book of Agric., Washington D.C.
Streets, Sr.R.B. 1972. Diagnosis of Plant Disease. The
University of Arizona, Arizona.
Sugiharso, S. dan R. Suseno. 1980. Penuntun Praktikum Ilmu Hama dan Penyakit. IPB, Bogor.
Weber, G.F. 1973. Bacterial and Fungi Diseases of Plant in the
Tropic. University of Florida. Grainsville, USA.
Label: makalah kehutanan