DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEANEKA-RAGAMAN HAYATI
Hutan
merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya
terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber
hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan
erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan
ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya.
Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD
45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP
No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa
keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan
terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin
meningkat.
Kerusakan
hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini sangat
signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca
yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Salju dan
penutupan es telah menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level
permukaan lautan meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila
laju yang sekarang berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara
rata-rata 1oC akan lebih panas menjelang tahun 2025.
Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan banyak wilayah.
Kondisi cuaca yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan, banjir dan
taufan, serta distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya dapat
terjadi.
Kebakaran
hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar
mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati,
merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim
mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta
mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara.
Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah
melintasi batas negara.
Berbagai
upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan
termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK
Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak
kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur,
intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin
meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun
1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian
yang mendalam untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.
Tulisan
ini merupakan sintesa dari berbagai pengetahuan tentang hutan,
kebakaran hutan dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati yang
dikumpulkan dari berbagai sumber sebagai salah satu tugas mata kuliah
dan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan
serta pengembangan ilmu pengetahuan bagi para pencinta lingkungan dan
kehutanan.
II. Kebakaran Hutan dan Faktor Penyebabnya
Api
sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah
lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan hingga
akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak
manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai
modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk
membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa
liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan
sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).
Analisis
terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah
terbakar secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang
lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode
iklim yang lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah
membakar hutan lebih dari 10 ribu tahun yang lalu untuk mempermudah
perburuan dan membuka lahan pertanian. Catatan tertulis satu abad yang
lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan
bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia
(Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999).
Menurut
Danny (2001), penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan
Timur adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang
disebabkan oleh kejadian alam. Proses kebakaran alami menurut
Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan
longsuran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan. Namun
menurut Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam
tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 %.
Kebakaran
hutan besar terpicu pula oleh munculnya fenomena iklim El-Nino seperti
kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 (Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998). Perkembangan kebakaran
tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran lokasi
kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir di seluruh
propinsi, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan tetapi juga di
lahan non hutan.
Penyebab
kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah
karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah
faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai
berikut:
- Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.
- Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.
- Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.
Perladangan
berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana
pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena
cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan
tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti
aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena
kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang
memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH.
Pembukaan
hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan
tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas.
Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan
alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun
metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal
yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan,
tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.
Sedangkan
penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para
pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk
asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan
dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui
hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan
melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki
secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi
pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi
untuk memadamkannya.
III. Kerugian dan Dampak Kebakaran Hutan Pada Keaneragaman Hayati
3.1. Kerugian yang ditimbulkannya
Kebakaran
hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu
lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di
berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25
juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan
deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya
akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang
diderita akibat kebakaran hutan tersebut kemungkinan jauh lebih besar
lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia
tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon
kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).
Hasil
perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003),
menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian
antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian
yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang.
Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran
seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian
dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti
kesehatan, pariwisata dan transportasi.
3.2. Dampak Pada Keanekaragaman Hayati
Kebakaran
hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman hayati. Hutan yang
terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami
kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka,
sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu
setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan
di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir
tersebut juga sulit diperhitungkan.
Hutan
alam mungkin memerlukan ratusan tahun untuk berkembang menjadi sistem
yang rumit yang mengandung banyak spesies yang saling tergantung satu
sama lain. Pada tegakan dengan pohon-pohon yang ditanam murni, lapisan
permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya diupayakan relatif bersih.
Pohon-pohon muda akan mendukung sebagian kecil spesies asli yang telah
ada sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu waktu
bertahun-tahun untuk dapat dipanen dan tidak dapat digantikan dengan
cepat; demikian juga komunitasnya yang kompleks juga juga tidak mudah
digantikan bila rusak.
Luas
hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan
bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada di seluruh
dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika merupakan
salah satu pusat keanekaragaman hayati terpenting di dunia. Laju
kerusakan hutan hujan tropika yang relatif cepat telah menyebabkan tipe
hutan ini menjadi pusat perhatian dunia internasional. Meskipun luas
Indonesia hanya 1.3 % dari luas bumi, tetapi memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari total jenis tumbuhan berbunga,
12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari total jenis reptilia, 17 % dari
total jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh dunia. Hal
ini menyebabkan Indonesia menjadi pusat perhatian dunia internasional
dalam hal keanekaragaman hayatinya.
Berdasarkan
hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002/2003, total
daratan yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha kondisi penutupan
lahan, baik di dalam maupun di luar kawasan, adalah : Hutan 93,92 juta
ha (50 %), Non hutan 83,26 juta ha (44 %), dan Tidak ada data 10,73 juta
ha (6 %). Khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha,
kondisi penutupan lahannya adalah sebagai berikut : Hutan 85,96 juta ha
(64 %), Non hutan 39,09 juta ha (29 %) dan Tidak ada data 8,52
juta ha (7 %). (BAPLAN, 2005)
Kebakaran
hutan Indonesia pada tahun 1997/98 saja telah menghanguskan seluas 11,7
juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan
terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan
Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan
100 ribu hektar (Tacconi, 2003). Kebakaran hutan setiap tahunnya telah memberikan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati. Berbagai jenis kayu kini telah menjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenum dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa jenis meranti (Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa jenis kayu yang sudah sulit ditemukan di alam. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang dikenal (lesser-known species) saat ini mungkin telah menjadi langka atau punah sebelum diketahui secara pasti nilai/manfaat dan sifat-sifatnya.
Setiap
species mempunyai kecepatan tumbuh yang berbeda-beda, ada yang
tergolong fast growing spesies terutama untuk jenis-jenis pioner, tetapi
ada yang termasuk dalam slow growing spesies. Untuk keberlanjutan
pemanenan jangka panjang jenis pohon yang lambat pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S. seminis, S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan Eusideroxylon zwageri,
maka diperlukan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini
perlu dilakukan agar tidak terjadi kepunahan dalam jenis tertentu akibat
kebakaran ataupun pembakaran hutan.
Jenis-jenis
pohon dari suku Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir dari suksesi
hutan, karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang sudah memiliki kanopi
yang rapat. Jenis-jenisnya tersebar luas sekali, tumbuh di hutan-hutan
dari dataran rendah sampai kaki pegunungan di seluruh Asia Tenggara dan
sub-benua India. Suku Dipterocarpaceae merupakan bagian dari kayu keras
yang paling berharga di dunia.
Selama
beberapa dekade, hutan-hutan Dipterocarpaceae di Indonesia sering
mengalami kebakaran baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja yang
berdampak langsung dengan hilangnya sejumlah spesies flora dan fauna tertentu.
Kehilangan
keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa spesies yang
memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka
ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimia yang bermanfaat yang
dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk selamanya. Kekayaan
spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung bahan
kimia dan obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan
dirinya secara kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang
penting.
IV. Penutup
Analisis
dampak kebakaran hutan masih dalam tahap pengembangan awal, pengetahuan
tentang ekosistem yang rumit belum berkembang dengan baik dan
informasi berupa ambang kritis perubahan ekologis berkaitan dengan
kebakaran sangat terbatas, sehingga dampak kebakaran hutan terhadap
keanekaragaman hayati secara real sulit diperhitungkan secara tepat.
Meskipun demikian dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan menimbulkan
dampak yang cukup besar bagi lingkungan hidup terutama bagi
keanekaragaman hayati, bahkan dampak tersebut dapat sampai ke generasi
lingkungan hidup selanjutnya.
Sebagai penutup tulisan ini dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena
didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma
nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air,
pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, dan sebagainya. Karena
itu pemanfaatan dan perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan
peraturan pemerintah.
2.
Kebakaran merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya
hutan dan akhir-akhir ini makin sering terjadi. Kebakaran hutan
menimbulkan kerugian yang sangat besar dan dampaknya sangat luas, bahkan
melintasi batas negara. Di sisi lain upaya pencegahan dan pengendalian
yang dilakukan selama ini masih belum memberikan hasil yang optimal.
Oleh karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama yang terkait
dengan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.
3.
Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang
penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan
faktor-faktor penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan aparatur
pemerintah terutama dari Departemen Kehutanan, peningkatan fasilitas
untuk mencegah dan menanggulagi kebakaran hutan, pembenahan bidang hukum
dan penerapan sangsi secara tegas.
DAFTAR BACAAN
Anonim, 2005, Kawasan Hutan. Badan Planologi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Anonim, 2005. Pengelolaan Kolaboratif. Peraturan Menteri Kehutanan No. 19/Menhut-II/2004. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.
Danny,
W., 2001. Interaksi Ekologi dan Sosial Ekonomi Dengan Kebakaran di
Hutan Propinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Paper Presentasi pada
Pusdiklat Kehutanan. Bogor. 33 hal.
Direktotar
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Kebakaran Hutan
Menurut Fungsi Hutan, Lima Tahun Terakhir. Direktotar Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta.
Dove, M.R., 1988. Sistem Perladangan di Indonesia. Suatu studi-kasus dari Kalimantan Barat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 510 hal.
Marsono,
Dj. 1984. Vegetasi Tumbuhan Bawah Hutan Tanaman Jati di KPH Kendal.
Buletin Penilitian Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Marsono, Dj. 2004. Konservasi Sumberdaya alam dan Lingkungan Hidup. Penerbit BIGRAF Publishing Bekrjasama dengan Sekolah Tinggi Teknik Linkungan YLH Yogyakarta.
Iskandar, J. 2000, Konservasi Keanekaragaman Hayati. Ulasan Pakar Mengenai Keaneka Ragaman Hayati. Yayasan Kehati.
Sheil,
D, et all. 2004. Mengeksplorasi keanekaragaman hayati, lingkungan dan
pandangan masyarakat lokal mengenai berbagai lanskap hutan. Center for International Forestry Research. Indonesia
Soemarsono,
1997. Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia (Penyebab,
Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan). Prosiding Simposium: “Dampak
Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16
Desember 1997 di Yogyakarta. hal:1-14.
Soeriaatmadja,
R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Terhadapnya. Prosiding Simposium:
“Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”.
Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal: 36-39.
Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak Kebakaran. dalam Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Editor: D. Glover & T. Jessup
Saharjo dan Husaeni, 1998. East Kalimantan Burns. Wildfire 7(7):19-21.
Tacconi,
T., 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia, Penyebab, biaya dan implikasi
kebijakan. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor,
Indonesia. 22 hal. http://www.cifor.cgiar.org/Publiction/occasional paper no 38 (i)/htmlLabel: materi kuliah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda