Rabu, 31 Oktober 2012

liburan ke pangandaran

Hmm..
dah lama ga isi blog..
lagi banyak kegiatan niy.. HEHEHEHE.. (--> sok sibuk) ana cuma mw bagi fotonya doank.. nih dia..


diperjalanan... foto dulu akh..


tegang.. malu rame bnget soalx..


gak peduli tengah hari...main jebur2 aja




foto dulu akh....

bareng kluarga... agak kabur ya..??



keran kan???

segitu dulu yah...

Label:

makalah cara mengukur potensial air umbi kentang

I.     PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang
Semua proses fisiologi di dalam jaringan tanaman tidak akan terjadi tanpa adanya air yang berperan penting dalam proses tersebut.  Selama pertumbuhan tanaman air memiliki peranan penting di antaranya berperan sebagai pelarut bahan-bahan organik, bahan utama proses fotosintesis dan lain-lain.  Jika tanaman mengalami stress air, maka pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut tidak akan berjalan normal.  Air masuk ke dalam sel tanaman melalui proses difusi, yang mana proses difusi ini terjadi karena perbedaan konsentrasi, yaitu konsentrasi di ruang yang dalam sel lebih rendah di bandingkan konsentrasi di luar sel.
Sel tumbuhan dapat mengalami kehilangan air yang besar jika potensial air di luar sel lebih rendah dibandingkan dengan potensial air di dalam sel, sehingga akan mengakibatkan volume isi sel akan menurun dan tidak akan mampu mengisi seluruh telah dibentuk oleh sel tersebut (Anonim, 2009).
2.1  Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dilaksanakannya praktikun tentang Mengukur Potensial Air Umbi Kentang ini adalah untuk mengetahui potensial osmotik pada umbi kentang dan ubi jalar.
kegunaan praktikum ini adalah agar para praktikan dapat mengidentifikasi peristiwa fisiologi tumbuhan terutama potensial osmotik umbi kentang.
II.     TINJAUAN PUSTAKA
2.1        Botani Kentang  (Solanum tuberosum)
Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak, termasuk dalam kerajaan Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida,  sub kelas asteridae, ordo solanales, famili solanaceae, genus solanum dan spesies solanum tubero L. (Nurmayulisun, 2009).
Menurut Sunaryono (2008), bentuk morfologi dari tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) dimana bentuk morfologi batangnya  ada yang berbentuk bulat, slindris, pada bagian pucuk berbulu dan berwarna hijau muda.   Memiliki sistem perakaran tunggang dan berwarna putih kekuningan.
Daun dari tanaman kentang merupakan daun majemuk, berbulu dengan ujung meruncing, tepi rata, bagian pangkal daun runcing, panjang daun 12-15 cm, lebar     6-8 cm, memiliki pertulangan menyirip dan daun berwarna hijau.
Tanaman kentang memiliki bunga yang majemuk, bercabang dan berbentuk garpu di ujung serta di ketiak daun, memiliki kelopak dengan panjang 8.5-15 mm, bunga berwarna hijau keputih-putihan.  Mahkota bunga pendek, berbentuk lonjong dan berwarna putih.  Benang sari melekat pada tabung mahkota, memiliki bakal buah dengan  2-6 ruang di dalam mahkota bunga yang mengandung banyak bakal biji.  Tangkai putik berbentuk jarum dengan kepala putik yang kecil dan berwarna putih.  Buah dari tanaman kentang berbentuk bulat lonjong dan berwarna coklat.  Memiliki biji dengan bentuk pipih atau berbentuk ginjal dan berwarna kuning.
2.2        Mengukur Potensial Air
Potensial air adalah potensial kimia air dalam suatu system atau bagian system.  Dinyatakan dalam satuan tekanan dan dibandingkan dengan potensial kimia air murni (juga dalam satuan tekanan) pada tekanan atmosfer dan pada suhu serta ketinggian yang sama potensial murni ditentukan sama dengan nol.  Faktor-faktor penghasil gradient yaitu konsentrasi atau aktifitas, suhu, tekanan, efek larutan terhadap potensial kimia pelarut, matriks.  Mengukur metode air dengan metode volume jaringan, metode chordate, metode tekanan uap (Anonim, 2005).
Besar jumlah potensial air pada tumbuhan dipengaruhi oleh 4 macam komponen potensial, yaitu gravitasi, matriks, osmotik dan tekanan. Potensial gravitasi bergantung pada air di dalam daerah gravitasi.  Potensial matriks bergantung pada kekuatan mengikat air saat penyerapan.  Potensial osmotik bergantung pada hidrostatik atau tekanan angina dalam air (Deragon, 2005).
  III.      METODE PRAKTEK
3.1        Tempat dan Waktu
Praktikum tentang Mengukur Potensial Air Umbi Kentang ini dilaksanakan di Laboratorium Hortikultura, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako, Palu.   Pada hari Rabu, tanggal 20 Oktober 2010, pada pukul 14.00 WITA sampai selesai.
3.2    Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah cutter, alat pengebor gabus atau antena radio, mistar berskala milimeter, botol yang bermulut besar(botol selai) dan kertas label.
3.3    Cara Kerja
Cara kerjanya adalah dengan terlebih dahulu memilih umbi kentang (Solanum tuberosum L.) yang berukuran besar, kemudian membuat silinder umbi dengan alat pengebor sepanjang 40 mm sebanyak 2 buah, menyiapkan 6 botol selei dengan masing-masing diisi larutan sukrosa yang telah ditentukan sebanyak 30 ml,  setiap botolnya diisi dengan satu konsentrasi dengan memberikan label pada masing-masing botol.  Memasukan potongan umbi kedalam botol yang masing-masing diisi 2 potongan umbi, disarankan agar dapat dilakukan dengan capat untuk mengurangi terjadinya penguapan, botol ditutup dengan rapat selama percobaan itu berlangsung.  Selanjutnya membiarkan silinder umbi dalam larutan selama 2 jam untuk memberi kesempatan pada umbi melakukan keseimbangan dengan larutan sukrosa tersebut. Setelah 2 jam, umbi diambil dari botol             dan mengukurnya kembali panjang masing-masing dengan cermat dan mencatatnya dibuku. Kemudin menghitung panjang rata-rata dari kedua umbi yang ada serta membuat grafik dari data yang diperoleh dengan molaritas larutan sebagai sumbu X dan rata-rata panjang silinder sebagai sumbu Y, dan yang paling terakhir adalah menentukan dengan grafik pada konsentrasi berapakah molar silinder umbi tidak mengalami prubahan panjang.   
  IV.     HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1        Hasil
Dari hasil pengamatan tersebut dapat di ketahaui hasilnya sebagai berikut:
 Tabel 1.  Penambahan    panjang    Umbi    Kentang   ( Solanum  tuberosum  L.) 
              selama perendaman 2 jam.
Perlakuan (m)
Rata”panjangawal   (cm)
Rata”panjang akhir(cm)
Selisih
0,2 m
4 cm
4,35 cm
0,35
0,4 m
4 cm
3,85 cm
0,15
0,6 m
4 cm
3,75 cm
0,25
0,8 m
4 cm
3,75 cm
0,25
1,0 m
4 cm
4,45 cm
0,45
Control
4 cm
4,25 cm
0,25
 
Grafik 1.  Perubahan Panjang Umbi Kentang (Solanum tuberosum L.) Selama    2 Jam.
2    Pembahasan
Sesuai dengan hasil pengamatan di atas dapat dilihat bahwa umbi kentang (Sholanum tuberosum L.)  yang direndam di dalam air (kontrol) memiliki penambahan panjang dengan panjang akhir rata-rata yaitu 4,25 cm dari panjang awalnya 4 cm, hal ini disebabkan karena air memiliki viskositas (kekentalan) yang rendah sehingga menyebabkan air dengan mudah melakukan difusi ke dalam jaringan umbi kentang dan menyebabkan potensial air dalam sel umbi kentang menjadi meningkat.
Pada pengamatan dengan menggunakan larutan sukrosa, Meskipun larutan ini memiliki viskositas (kekentalan) yang cukup tinggi dari larutan sukrosa yang lainnya, Umbi Kentang (Sholanum tuberosum L.) yang direndam dalam larutan sukrosa 1,0 M memiliki rata-rata panjang akhir yang tertinggi, dengan panjang awal 4 cm dan panjang akhir 4,45 cm.  Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan pada saat perendaman umbi kentang memiliki potensial air yang cukup rendah sehingga larutan sukrosa dapat mengalir secara difusi ke dalam sel umbi kentang tanpa mengalami hambatan, sehingga potensial air dalam sel umbi kentang  meningkat.  Panjang akhir rata-rata umbi kentang yang terendah adalah pada umbi kentang yang direndam di dalam larutan sukrosa 0,6 dan 0,8 M dengan mengalami penyusutan panjang sebanyak 0,25 cm, hal ini disebabkan karena penambahan potensial air dalam sel umbi kentang sangat rendah meskipun viskositas larutan lebih rendah dibandingkan viskositas larutan sukrosa yang lainnya.
Dari hasil tersebut, ditemukan umbi Kentang yang di rendam di dalam larutan sukrosa 0,4 M 0,6 M dan 0.4 M dengan panjang akhirnya mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena larutan sukrosa mampu menyerap air secara osmosis dari dalam sel umbi kentang itu sendiri, sehingga terjadi penyusutan.
Air merupakan suatu molekul yang sederhana, terdiri dari satu atom O dan dua atom H sehingga berat molekulnya hanya 18 g/mol.  Salah satu karakteristik dari molekul air adalah memiliki viskositas yang rendah, sehingga air dapat mengalir dengan mudah ke dan dalam jaringan tumbuhan (Lakitan, 2004).
Larutan yang sering digunakan dalam mengestiminasi potensial air adalah larutan sukrosa (C12H22O11), sampel yang dimasukkan ke dalam seri larutan akan kehilangan atau menyerap air secara osmosis.  Jika densitas larutan tidak berubah, berarti potensial air sampel yang diuji sama dengan larutan sukrosa tersebut (Malik, 2008).
   V.     KESIMPULAN DAN SARAN
5.1        Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil yang telah diperoleh, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.            Suatu tanaman jika direndam dalam suatu larutan, maka potensial air dalam sel tanaman tersebut akan berubah tergantung pada konsentrasi serta viskositas  larutan yang digunakan.
2.            Potensial air dalam sel suatu tanaman menentukan proses pertumbuhan dan perkembangan dari tanaman itu sendiri, karena selama proses hidupnya tanaman membutuhkan air yang cukup banyak.
3.            Air masuk ke dalam sel tanaman melalui proses difusi, yang mana proses difusi ini terjadi karena perbedaan konsentrasi, yaitu konsentrasi di dalam sel lebih rendah di bandingkan konsentrasi di luar sel.
5.2         Saran
Diharapkan kepada asisten kiranya dapat mengarahkan para praktikan selama praktek berlangsung, agar jalanya  praktek yang dilaksanakan ini dapat berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Label:

inventarisasi serangan hama pada jati

I.                   PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Jati (Tectona grandis L.f) merupakan salah satu pohon tropis yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, karena kayunya tergolong kayu serbaguna. Kayu jati dapat digunakan untuk berbagai keperluan teknik maupun dekoratif. Penyebaran alaminya terdapat di India, Myanmar dan Thailand. Di Indonesia terdapat di Pulau Jawa, Kangean, Bali, Muna, Buton, Maluku, Sumbawa dan Lampung. Wilayah hutan jati terluas di Indonesia terdapat di Pulau Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dalam wilyah kerja Perum Perhutani Unit I dan Unit II (Intari, 2000 dalam Aggraeni dan  Asmaliyah, 2008) dan hutan rakyat.
Pengembangan jati di kecamatan Dampelas ditanam secara monokultur dalam skala luas. Hal ini mengandung resiko timbulnya serangan hama dan penyakit, karena pada keadaan dimana hutan jati makin banyak diusahakan hingga merupakan suatu ekologi binaan dengan budidaya pohon hutan dengan menerapkan silvikultur intensif, serta adanya kesengajaan menyederhanakan ekosistem alami menjadi ekosistem rekayasa, maka sangatlah rentan terhadap organisme pengganggu seperti hama dan penyakit. Masalah hama dan penyakit akan dijumpai mulai dari biji, biji yang baru tumbuh atau kecambah, tanaman muda sampai menjadi tegakan, bahkan sampai pada hasil hutannya. Oleh karena itu hama dan penyakit dalam bidang kehutananan perlu mendapat perhatian, karena tidak akan mungkin diperoleh suatu tegakan atau tanaman hutan yang sehat apabila masalah hama dan penyakit diabaikan (Anggraeni dan  Asmaliyah, 2008)
Untuk menghindari kerugian yang lebih besar akibat gangguan hama dan penyakit tersebut maka harus dilakukan pengendalian. Untuk memperoleh teknik pengendalian yang tepat (efektif dan efisien), maka perlu diketahui terlebih dahulu jenis hama dan penyakit, gejala, akibat yang ditimbulkan, ekobiologi, penyebaran dan penularannya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui jenis patogen yang menyerang tanaman jati didesa Talaga Kecamatan Dampelas.
Jati (Tectona grandis L.f) adalah merupakan tanaman kehutanan yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi. Karena kualitas kayunya tergolong jenis baik, sangat kuat dan indah. Kebutuhan jati baik dalam maupun luar negeri cenderung meningkat dari tahun ketahun. Hal ini mengakibatkan harga jual kayu jati mengalami kenaikan 6-13% per tahun. Produksi kayu jati (Tectona grandis L.f) di Indonesia masih sangat rendah yaitu berkisar 0,8 juta m3 per tahun sehingga masih kekurangan pasokan 1,7 juta m3 per tahun (Trubus, 2000)
Indonesia termasuk negara dengan luas hutan mencapai jutaan hektar dan beriklim tropis, kondisi ini sangat potensial untuk pengembangan tanaman jati (Tectona grandis L.f) untk memasok kebutuhan jati ditingkat dunia (Simon, 1993)
Ketersediaan kayu jati (Tectona grandis L.f) di Indonesia dari tahun ketahun cenderung mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena adanya serangan hama dan penyakit, untuk itu sangat penting diketahui agar penyebabnya dapat diketahui dengan pasti, sehingga tindakan pencegahan dan pemberantasan dapat dilakukan dengan tepat. Dalam banyak hal, dengan memperhatikan gejala serangan, seseorang yang berpengalaman dapat menentukan dengan tepat. Tapi kadang-kadang beberapa jenis hama yang dapat menyebabkan gejala yang sama pada satu pohon yang diserangnya, sehingga dengan memperhatikan gejala saja belum cukup untuk menentukan jenis hama dan dan penyakit serta penyebab yang pasti. Dalam hal ini, yang juga dapat diperhatikan adalah tanda-tanda serangan hama diantaranya hama pucuk daun, penggerek batang, rayap, semut, telur larva, kupu-kupu, kumbang dan sebagainya, dan bentuk-bentuk lainnya seperti kotoran, cairan, sarang dan sebagainya.
Untuk meningkatkan produktivitas dan memperbaiki kualitas kayu jati dapat dilakukan dengan kegiatan pemeliharaan yang intensif, terutama pencegahan hama dan salah satu penyebabnya yang dapat menurunkan kayu yang dihasilkan.
1.2 Rumusan Masalah
 Hutan jati (Tectona grandis L.f) merupakan bentuk pertanaman yang monokultur. Dalam kondisi ekologi seperti ini, cenderung memacu meningkatnya poulasi hama dan penyakit, seperti halnya terjadi pada ekosistem pertanian dan perkebunan. Ekosistem monokultur lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit karena terbatasnya keaneka ragaman jenis tanaman dan adanya perubahan iklim mikro. Masalah ini umumnya kurang mendapat perhatian dari perencana atau pengelola hutan dan baru dirasakan arti pentingnya setelah terjadi kerusakan, yang biasanya sudah terlambat ditanggulangi.
Hama daun dan pucuk, penggerek batang, rayap, semut dan sebagainya. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya ledakan serangan hama disaat mendatang, diperlukan pengenalan jenis-jenis hama penting pada tanaman jati (Tectona grandis L.f).
1.3    Tujuan dan Kegunaan
Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis hama, gelaja serangan, frekuensi maupun intensitas serangan hama pada tanaman jati (Tectona grandis L.f) di areal perkebunan di Desa Talaga Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala.
Dengan tercapainya tujuan diatas, diharapkan dapat memberikan informasi awal sebagai pijakan awal dalam menentukan langkah-langkah penggunaan atau pengendalian hama pada tanaman jati (Tectona grandis L.f)
II.               TINJAUAN PUATAKA
2.1 Keterangan Umum Tentang Hama
1. pengertian hama     
            Pengertian atau devenisi hama adalah semua organisme hidup yang tergolong pada jenis serangga atau satwa yang dapat menimbulkan kerusakan pada biji, bibit tanaman muda dan tua yang secara ekonomis berarti atau sangat merugikan karena berada diatas ambang ekonomi (Natawiria, 1991)
            Menurut Nas (1978) bahwa serangga dikatakan hama apabila serangga tersebut mengurangi kualitas dan kuantitas bahan makanan, pakan ternak, tanaman serat, hasil pertanian atau panen, pengolahan dan dalam penggunaannya serta dapat bertindak sebagai vektor penyakit pada tanaman, binatang dan manusia, dapat merusak tanaman hias , bunga serta merusak bahan bangunan dan milik pribadi lainnya.
            Menurut Oemijati (1991), hama hutan adalah semua binatang yang merusak pohon, tegakan hutan, bagian pohon serta hasil hutan. Sebagian besar (80%)dari binatang yang menimbulkan kerusakan adalah serangga. Selain itu tupai, tikus, babi hutan, bekicot berperan sebagai hama, tetapi orang utan, rusa, gajah dan sebagainya tidak berperan sebagai hama, tetapi berpotensi sebagai hama.
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hama Hutan
            Menurut Suratmo (1974), tinggi rendahnya kerusakan yang ditimbulkan oleh serangga perusak hutan terutama ditentukan oleh jumlah individu serangga (populasi serangga). Perkembangan populasi serangga ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
2.2.1 Faktor Abiotik
1) Daya reproduksi dan survival serangga
            Daya reproduksi adalah kemampuan berkembang biak dari setiap ekor serangga betina yang dewasa dalam periode waktu tertentu jika didukung oleh kondisi sekeliling yang optimum. Faktor-faktor yang menentukan daya reproduksi adalah sifat-sifat dari serangga seperti fecundity (kesuburan), life cycle (panjang umur serangga mulai dari telur sampai imago), sex ratio (perbandingan antara jantan dan betina) dan polyembroni (dua serangga atau lebih yang dapat dihasilkan dari satu telur), serta parthenogenesis (reproduksi tanpa tumbuhan).
            Daya survival adalah kemampuan, hidup dan sifat-sifat lainya dari serangga untuk dapat tetap hidup dengan keadaan disekitarnya.
2). Kualitas dan kuantitas makanan
            Kualitas makanan adalah bagian pohon yang jadi makanannya sesuai atau tidak yang disukai serangga, sedangkan kuantitas makanan adalah jumlah makanan yang dikonsumsi banyak atau sedikit.
            Faktor makanan yang mempengaruhi perkembangan populasi serangga adalah: banyaknya tanaman inang yang cocok, kerapatan tanaman inang, komposisi tegakan, umur tanaman inang, kesehatan tanaman inang            dan adanya tanaman inang lainnya sebagai tanaman pengganti bila tanaman yang cocok atau disukai telah habis.
3). Parasit atau predator
            Parasit adalah suatu organisme yang hidup di dalam air atau diluar tubuh organisme lain, yang mana organisme yang pertama mendapat kebutuhan hidupnya dari organisme kedua dan organisme kedua dirugikan. Parasit serangga yang terpenting adalah dari jenis serangganya sendiri, selain itu virus, bakteri, fungi, protozoa dan cacing (Nemathelminthes)
            Predator adalah suatu organisme yang hidup bebas yang mana organisme tersebut mandapatkan makanannya dengan membunuh mangsanya dan biasanya memadukan mangsa lebih dan seekor dalam hidupnya. Predator serangga yang terpenting adalah dari jenis serangga sendiri, predator lainnya seperti burung, mamalia, reptilia dan binatang ampibi.
2.2.2 Faktor fisik
            Faktor-faktor fisik yang penting dalam mempengaruhi kehidupan serangga adalah suhu, cahaya, hujan, kelembapan udara dan angin. Faktor-faktor fisik tersebut bersama-sama membentuk cuaca (dalam waktu pendek) atau suatu iklim (dalam jangka waktu panjang) yang dapat menyebabkan timbulnya epidemi suatu serangga.
1)      suhu
Setiap spesies serangga mempunyai jangkauan suhu masing-masing dimana ia dapat hidup, dan pada umumnya jangkauan suhu yang efektif adalah suhu minimum. Serangga memiliki kisaran suhu tertentu untuk kehidupannya. Diluar kisaran suhu tersebut serangga dapat mengalami kematian. Efek ini terlihat pada proses fisiologis serangga, dimana pada suhu tertentu aktivitas serangga tinggi dan akan berkurang (menurun) pada suhu yang lain (Ross, et al., 1982; Krebs, 1985). Umumnya kisaran suhu yang efektif adalah 15ºC (suhu minimum), 25ºC suhu optimum dan 45ºC (suhu maksimum). Pada suhu yang optimum kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan akan besar dan kematian (mortalitas) sebelum batas umur akan sedikit (Natawigena, 1990).2). 2). Cahaya
            Cahaya mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan, perkembangannya dan tahan kehidupannya serangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Cahaya mempengaruhi aktifitas serangga, cahaya membantu untuk mendapatkan makanan, tempat yang lebih sesuai. Setiap jenis serangga membutuhkan intensitas cahaya yang berbeda untuk aktifitasnya. Serangga diurnalyaitu serangga yang membutuhkan intensitas cahaya tinggi aktif pada siang hari.Serangga krepskular adalah serangga yang membutuhkan intensitas cahaya sedang aktif pada senja hari. Serangga nokturnal adalah serangga yang membutuhkan intensitas cahaya rendah aktif pada malam hari.
3). Hujan
            Curah hujan merupakan pemicu perkembangan eksternal dan berguna untuk merangsang keluarnya kasta reproduksi dari sarang. Serangga tidak keluar jika curah hujan rendah. Curah hujan yang terlalu tinggi juga dapat menurunkan aktivitas serangga. Curah hujan umumnya memberikan pengaruh fisik secara langsung pada kehidupan koloni serangga.         
4). Angin
            Angin dapat berpengaruh secara langsung terhadap kelembaban dan proses penguapan badan serangga dan juga berperan besar dalam penyebaran suatu serangga dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Baik memiliki ukuran sayap besar maupun yang kecil, dapat membawa beberapa ratus meter di udara bahkan ribuan kilometer (Natawigena, 1990). Angin mempengaruhi mobilitas serangga. Serangga kecil mobilitasnya dipengaruhi oleh angin, artinya serangga yang demikian dapat terbawa sejauh mungkin oleh gerakan angin.
5). Kelembapan udara
            Kelembaban udara mempengaruhi kehidupan serangga langsung atau tidak langsung. Serangga yang hidup di lingkungan yang kering mempunyai cara tersendiri untuk mengenfisienkan penggunaan air seperti menyerap kembali air yang terdapat pada feces yang akan dibuang dan menggunakan kembali air metabolik tersebut, contohnya serangga rayap. Oleh karena itu kelembaban harus dilihat sebagai keadaan lingkungan dan kelembaban sebagai bahan yang dibutuhkan organisme untuk melangsungkan proses fisiologis dalam tubuh. Sebagai unsur lingkungan, kelembaban sangat menonjol sebagai faktor modifikasi suhu lewat reduksi evapotranspirasi. Selanjutnya tidak ada organisme yang dapat hidup tanpa air karena sebagian besar jaringan tubuh dan kesempurnaan seluruh proses vital dalam tubuh akan membutuhkan air. Serangga akan selalu mengkonsumsi air dari lingkungannya dan sebaliknya secara terus menerus akan melepaskan air tubuhnya melalui proses penguapan dan ekskresi. Dalam hal ini kebutuhan air bagi serangga sangat dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya terutama kelembaban udara.
Beberapa penelitian mengenai beberapa ketahanan serangga terhadap kekeringan menunjukkan korelasi yang tinggi dengan keadaan lembab tempat hidupnya. Secara umum kelembaban udara dapat mempengaruhi pembiakan, pertumbuhan, perkembangan dan keaktifan serangga baik langsung maupun tidak langsung. Kemampuan serangga bertahan terhadap keadaan kelembaban udara sekitarnya sangat  berbeda menurut jenisnya. Dalam hal ini kisaran toleransi terhadap kelembaban udara  berubah untuk setiap spesies maupun stadia perkembangannya, tetapi kisaran toleransi  ini  tidak jelas seperti pada suhu. Bagi serangga pada umumnya kisaran toleransi terhadap kelembaban udara yang optimum terletak didalam titik maksimum 73-100 persen. Cuaca yang lembab merangsang pertumbuhan populasi, sedang cuaca yang sangat kering atau keadaan yang banyak hujan menghambat pertumbuhan tersebut. Kebanyakan air, seperti banjir dan hujan lebat merupakan bahaya bagi kehidupan beberapa jenis serangga, termasuk juga berbagai jenis kupu-kupu yang sedang beterbangan, serta dapat menghanyutkan larva yang baru menetas.
2.3    Penggolongan Hama Hutan
Semua binatang yang dapat menimbulkan kerusakan pada pohon hutan atau hasil hutan disebut hama hutan. Dan ilmu yang mempelajarinya adalah ilmu hama hutan. Menurut Suratmo (1982) dan Husaeni (1987), hama hutan dapat digolongkan berdasarkan bagian pohon yang diserang. Pembagian hama hutan berdasarkan bagian pohon yang diserang adalah sebagai berikut:
a.    Serangga perusak daun (defoliating insect)
Serangan serangga mengakibatkan sebagian atau seluruh daun rusak karena dimakan. Serangga perusak daun termasuk ordo Lepidoptera, Hymenoptera dan Diptera, hanya stadium larva atau nympha dan stadium imago yang merusak daun. Contoh serangga perusak daun adalah ulat daun jati (Hyblaea puera, Hyblaeadae, Lepidoptera), Pyrausta machaeralis (Pyralidae, Lepidoptera), kupu-kupu kuning (Eurema spp, pieridae, Lepidoptera) Milionia basalis (Geometridae, Lepidoptera).
b.    Serangga perusak pucuk dan cabang (bud and twig insects)
Kerusakan akibat yang timbul jika pucuk dan cabang diserang adalah pucuk dan cabang dapat berlubang-lubang dan diteres oleh serangga. Serangga yang merusak biasanya termasuk ordo Lepidoptera, Coleoptera, Hemiptera, dan Hymenoptera. Contoh serangga perusak pucuk dan cabang adalah Hypsipyla robusta (Pyralidae, Lepidoptera).
c.       Serangga pengebor kulit pohon (inner bark boring insects)
Bagian yang dirusak adalah kulit pohon bagian dalam sampai ke kambium, lubang gerakan serangga dapat merusak atau menutup jalan pengiriman bahan makanan pohon yang dikirim dari daun ke akar. Seangga pengebor kulit pohon biasanya termasuk ordo Celeoptera. Contoh serangga pengebor kulit pohon adalah Xystrocera festiva (Cerambycidae, Coleoptera).
d.      Serangga pengebor batang pohon dan kayu (wood boring insects)
Kerusakan berbentuk lubang-lubangyang mempunyai bermacam-macam ukuran dan bentuk. Sebagian besar dari pengebor batang dan kayu termasuk ordo Coleoptera. Contoh serangga pengebor batang dan kayu adalah Xyleborus destruens (Scolytidae, Coleoptera).
e.       Serangga perusak akar
Bagian akar yang dirusak adalah ujung akar tanaman muda yang merupakan bagian yang sangat lunak. Serangga perusak akar biasanya termasuk ordo Coleoptera, selain itu ada juga Lepidoptera dan Isoptera. Contoh serangga perusak akar adalah Coptotermes curviqnathus (Rhinotermitidae, Isoptera).
f.       Serangga pengisap cairan pohon (sap sucking insect)
Kerusakan yang ditimbulkan berbentuk noda-noda, perubahan warna (discoloration), bentuk yang membesar (malformation) atau terhentinya pertumbuhan dari bagian-bagian tertentu misalnya cabang. Serangga pengisap cairan pohon termasuk ordo Homoptera, Hymenoptera, Diptera, Heteroptera.
2.4    Gejala dan Tanda Serangan Hama
a.       Gejala Serangan Hama
Menurut Coulson (1984), bentuk kerusakan daun akibat serangan serangga-serangga mempunyai ciri sebagai berikut:
1). Free feeding yaitu serangga memakan sebagian atau seluruh daun kecuali tulang daun
2). Hole feeding yaitu serangga memakan bagian kecil pada semua lapisan daunsehingga menjadi lubang-lubang pada daun.
3). Skeletonizing yaitu serangga memakan bagian daun yang lunak saja sehingga tinggal rangka daun.
          Menurut Kasno (1990) gejala pucuk akibat serangan serangga memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1). Pucuk yang terluka
2). Pucuk yang berlubanggerekan
          Menurut Kasno (1990), gejala kerusakan kulit batang dan cabang akibat serangan serangga mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1). Kerusakan kulit batang berupa gerekan
2). Batang dan cabang berlubang
3). Batang bergembol dan berongga
b. Tanda Serangan Hama
Tanda serangan hama seperti telur, larva, imago, kotoran, cairan dan lain sebagainya. Menurut Partosedjono (1985), bermacam-macam bentuk telur serangga antara lain seperti :
            1). Selubung telur belalang sembah, Mantis sinensis (Orthopreta)
            2). Telur kumbang, Criosceris sp ( Coleoptera)
            3). Sebagian kelompok telur kepik kubis, Murgantia sp. (Hemiptera)
            4). Telur kupu-kupu kubis, Pieris rapae (Lepidoptera)
            5). Telur lalat rumah, Musca domestica (Diptera)
     Menurut Natawigena (1990), bentuk larva serangga memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1). Eruciform : bentuk tubuh silindris, kepala berkembang biak, thorax   bertungkai, pada abdomen ada kaki semu (proleg), contohnya larva Lapcloptera dan beberapa spesies  pada Hymenoptera.
2). Scarabaeiform : tubuh melengkung, kepala berkembang biak, thorax bertungkai, abdomen tanpa proleg, contohnya larva Coleoptera (Scarabidae)
3).   Compodeiform : tubuh memanjang pipih, thorax bertungakai, contohnya larva Coleoptera
4). Elateriform : tubuh memanjang, kecil, selindris, kulit agak keras, tungkai pendek dan bulu pada abdomen pendek, contohnya larva pada beberapa spesies Lepidoptera.
5).   Vermiform : tubuh seperti cacing, tak bertungkai, ada atau tanpa kepala, contohnya larva diptera, banyak pada Hymenoptera, beberapa pada Coleoptera dan Lepidoptera.
III.           METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
            Penelitian akan dilaksanakan mulai bulan November 2012 - Januari 2013 di areal tegakan jati yang berada didesa Talaga Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah
3.2 Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan pada pnelitian ini adalah:
1.      Tegakan jati (Tectona grandis L.f) sebagai objek penelitian
2.      Jaring serangga, untuk menangkap serangga dilapangan
3.      Botol aqua, untuk tempat mengumpulkan serangga
4.      Kamera digital, untuk memotret saat penelitian
5.      Alat tulis menulis
6.      Tali rafia, untuk membuat plot
7.      Parang, untuk membuat patok plot
8.      Kantong platik, untuk menyimpan bagian tanaman yang terserang
9.      Alkohol 70% untuk mengawetkan serangga yang ditemukan dilapangan
3.3    Prosedur Kegiatan
a.        Pembuatan Plot Penelitian
Plot untuk pengamatan dibuat dengan ukuran tertentu, dimana setiap plot berisi 100 tanaman jati, dan diulang sebanyak 5 kali, sehingga secara keseluruhan terdapat 500sampel yang diamati.
2. Pengambilan Data Primer
            Identifikasi gejala dilakukan dengan cara meligat perubahan fisik yang ditimbulkan oleh tanaman, seperti adanya daun berlubang, pucuk terpotong, batang berlubang, bercak daun, busuk daun, mati pucuk dan sebagainya. Untuk mengetahui jenis hama yang meyerang digunakan metode identifikasi seperti yang dilakukan mardji (1996) yaitu pengamatan langsung dilapangan untuk jenis-jenis hama yang benar diketahui, sedangkan untuk jenis hama yang belum diketahui dikumpulkan didalam botol berisi alkohol 70% selanjutnya dibawa ke laboratorim.
            Setiap tanaman diamati dan ditentukan nilainya (skor) berdasarkan kondisi tanaman gejala serangan seperti yang dikemukakan oleh Eusebio et al (1979) dan Sharma et al (1984) uang dimodifikasikan pada tabel. 1
Tabel 1. Cara menentukan Nilai (skor) serangan hama pada setiap tanaman
Gejala pada Tanaman
Skor
Sehat (tidk ada gejala serangan atau ada serangan pada daun tapi sangat sedikit dibandingkan dengan luas daun seluruhnya.
0
Merana ringan ( jumlah daun yang terserang dan jumlah serangan pada masing-masing daun yang terserang sedikit atau daun rontok sedikit
1
Merana sedang  (jumlah daun yang terserang dan jumlah serangan pada masing-masing daun yang terserang agak banyak atau daun rontok agak banyak
2
Merana berat (jumlah daun yang terserang dan jumlah serangan pada masing-masing daun yang terserang banyak atau daun rontok banyak
3
Mati (seluruh daun layu atau rontok atau tidak ada tanda-tanda kehidupan)
4
3.4    Pengambilan Data
1.    Pengambilan Data Dilapangan
Untuk mengetahui frekuensi serangan hama pada tanaman dihitung dengan menggunakan rumus menurut James (1974), sebagai berikut:
Intensitas serangan dihitung dengan mnggunakan rumus de Guzman (1985), Singh dan Mishra (1992) yang memodifikasi sebagai berikut:
 
Keterangan : I                         =   Intensitas serangan
X                        =   Jumlah seluruh tanaman
X1-                    =   Jumlah tanaman yang merana ringan (skor 1)
sampai yang mati (skor 4)
Y1-Y4                =   Skor untuk tanaman yang merana ringan sampai
Mati (1 sampai 4)
Setelah diperoleh nilai intensitas serangan tersebut diatas, maka kemudian ditentukan kondisi tanaman dilapangan, untuk mengetahui seberapa besar akibat yang ditimbulkan oleh serangan hama atau patogen. Cara menentukan kondisi tanaman akibat serangan hama atau dapat dilihat pada tabel 2
Tabel 2. Cara Menentukan Kondisi Tanaman Akibat Serangan Hama atau Patogen
Intensitas serangan
Kondisi Tanaman
0-1
>1-25
>25-50
>50-75
>75-100
Sehat
Rusak ringan
Rusak sedang
Rusak berat
Rusak sangat berat
2.    Pengambilan Data di Laboratorium
Inventarisasi jenis hama yang menyebabkan kerusakan tanaman dilakukan dengan cara membandingkan bentuk-bentuk dan karateristik serangga dengan lieratur dan koleksi yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Aggraeni, I., S.E. Intari dan W. Intari. 2006. Hama dan Penyakit Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Bogor.
Streets, R.B. 1980. Diagnosis Penyakit Tanaman (Terjemahan Imam Santoso) The University of Arizona Press.  Tuskon – Arizona. USA.
Dwidjoseputro. D. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni Bandung.
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5 th  eds. Elsevier akademic press. USA.
Alexopoulus, C.J. and C.W. Mims.1979. Introductory Mycology. John Wiley & Sons
Bernett, H.L. 1965. Illustrated Genera of Fungi. Burges Publishing Company. Minneapolis – USA.
Mahfudz dkk. 2004. Sekilas Jati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.
Nath, R.; P Neergard and S. B. Mathur. 1970. Identification of Fusarium Species on Seeds as They Occur in Blotter Tes. Proc. Int. Seed. Test Ass. 35 (1).
Smith, A.L. 1953. Fusarium and Nematode on Cotton in Plant Diseases. The Year Book of Agric., Washington D.C.
Streets, Sr.R.B. 1972. Diagnosis of Plant Disease. The University of Arizona, Arizona.
Sugiharso, S. dan R. Suseno. 1980. Penuntun Praktikum Ilmu Hama dan Penyakit. IPB, Bogor.
Weber, G.F. 1973. Bacterial and Fungi Diseases of Plant in the Tropic. University of Florida. Grainsville, USA.

Label: